Pages

Subscribe:

Senin, 12 Mei 2014

TUGAS 5 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN



Nama    : Gigih Kuntoro Wicaksono
Kelas     : 2EA21
NPM      : 13212146
Golput adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971.Ini adalah Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman.Sepanjang Orde Baru,ia dianggap pembangkang & sulit mendapatkan pekerjaan walau ia doktor lulusan Harvard dan dosen di Univ. Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga serta Univ. Melbourne. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara. Di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Maklum,baru saja Orba selesai melakukan konsolidasi dg melibas habis bukan saja pendukung PKI tapi rezim Orde Lama & Soekarnois. Pemilu 1971 adalah sarana bagi rezim Orde Baru untuk memantapkan kekuasaannya.


Arief Budiman, 2012

Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan. Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun. Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI. Kebanyakan tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun sebagian tokoh “Angkatan ‘66” diakomodasi Orba dalam sistem. Mereka ada yg menjadi anggota DPR-GR,bahkan Menteri. Namun,yg tetap kritis melawan rezim baru yg dianggap mengingkari janji itu. Pencetusan gerakan itu disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu. Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih, kampanye tersebut langsung mendapat respon dari aparat penguasa.


Partai-partai peserta Pemilu 1971

Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan Golput sebagai organisasi terlarang dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang oleh Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya. Kokamsung sempat pula memanggil para eksponen Golput, yaitu Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik menyebut golput sebagai golongan setan. Menyambut minggu tenang, Golput sebagai gerakan moral membuat memorandum berisi seruan agar masyarakat menggunakan haknya dengan keyakinan. Siapa pun dipersilakan memilih atau tidak memilih. Memorandum berbunyi, "kalau ada jang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih,bertindaklah atas dasar kejakinan itu pula".

Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah,golput pada pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 Golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.

Klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kimpoi mempunyai hak memilih. Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah "hak" bukan "kewajiban".Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya bebas digunakan atau tidak.

Terkait dgn dalil di atas, maka Golput gagasan Arief Budiman cs bentuk sikap protes thdp sistem politik pada saat itu masih masuk akal. Namun saat ini, setelah berakhirnya era Orba, iklim politik sudah jauh berbeda, bahkan demokratisasi yg telah berlangsung bisa disebut melampaui target alias "kebablasan" di mana partisipasi politik rakyat bisa dimulai dari tahap pembentukan kelompok-kelompok politik, sehingga seluruh komunitas dalam masyarakat dalam proses politik memiliki hak untuk ikut serta membangun partai-partai politik yang sesuai, bukan karena disodori partai politik bentukan pemerintah.

Berbeda dengan golput saat ini, pada tahun 70-an mahasiswa aktivis tersebut menggunakan dasar2 etika moral politik untuk memperbaiki sistem politik yang menurut mereka kurang benar. Sementara golongan putih saat ini sesungguhnya tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat yang memiliki apatisme politik. yang berarti golongan bagi mereka yang memiliki sikap ketidakpedulian politik. Sedangkan sikap ketidakpedulian politik ini sangat berbahaya karena akan berujung pada ketidakperdulian trhadap keberadaan NKRI. Secara ekstrem, dalam prosesnya ketidakpedulian ini adalah cikal bakal perlawanan terhadap eksistensi negara. Jadi sekali lagi, tidak ada alasan bagi kita untuk menggunakan hak memilih kita untuk "tidak memilih" dalam pemilu mendatang. Marilah kita berusaha bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial politik kita sendiri, ikut serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui jalur politik. Bukan sebagai golongan putih yang tidak peduli dengan Indonesia, yang lebih layak disebut golongan hitam yang berbaju putih.

0 komentar:

Posting Komentar