NAMA : GIGIH KUNTORO WICAKSONO
KELAS :
3EA21
NPM :
13212146
BAHASA
INDONESIA 2
1.1 Penalaran
Penalaran adalah
proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah
proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah
proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut
menalar.
Beberapa
lagi pengertian dari penalaran yaitu :
·
Proses
berpikir logis, sistematis, terorganisasi dalam urutan yang saling berhubungan
sampai dengan simpulan,
·
Menghubung-hubungkan
fakta atau data sampai dengan suatu simpulan,
- Proses menganalisis suatu topic sehingga menghasilkan suatu simpulan atau pengertian baru,
- Dalam karangan terdiri dua variabel atau lebih, penalaran dapat diartikan mengkaji, membahas, atau menganalisis dengan menghubung-hubungkan variabel yang dikaji sampai menghasilkan suatu derajat hubungan dan simpulan,
- Pembahasan suatu maslah sampai menghasilkan suatu simpulan yang berupa pengetahuan atau pengertian baru.
Jenis-Jenis
Metode Penalaran
a) Metode
induktif
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
b) Penalaran Deduktif adalah proses berpikir logis yang
diawali dengan penyajian fakta yang bersifat umum, disertai pembuktian khusus,
dan diakhiri simpulan khusus yang berupa prinsip, sikap, atau fakta yang
berlaku khusus.
1.2 Proposisi
Proposisi adalah istilah yang
digunakan untuk kalimat pernyataan yang memiliki arti penuh dan utuh. Hal
ini berarti suatu kalimat harus dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya. Singkatnya, proposisi
adalah pernyataan mengenai hal-hal yang dapat dinilai benar atau salah.
Dalam ilmu
logika, proposisi mempunyai tiga unsur yakni:
- Subyek, perkara yang disebutkan adalah terdiri dari orang, benda, tempat, atau perkara.
- Predikat adalah perkara yang dinyatakan dalam subjek.
- Kopula adalah kata yang menghubungkan subjek dan predikat.
1.3 Inferensi
Inferensi merupakan intisari informasi baru yang bersifat implisit dan eksplisit dari informasi yang diberikan (Cummings, 1999). Proses inferensi terjadi ketika dalam proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan ciri konteks pada dasarnya merupakan proses inferensi. Konteks implikatur diperoleh bukan diberikan tetapi diciptakan. Hal ini merupakan pernyataan utama teori relevansi. Cruse (2000) berkomentar bahwaa konteks yang benar untuk menginterpretasikan ujaran tidak diberikan sebelumnya, melainkan pendengar memilih konteks dengan sendirinya.
Inferensi terdiri dari tiga hal, yaitu inferensi deduktif, inferensi elaboratif, dan inferensi percakapan (Cummings, 1999). Lebih detail dijelaskan bahwa inferensi deduktif memiliki tiga tipe silogisme, yaitu ‘all’ dan ‘some’ baik afirmatif, maupun negatif. Inferensi deduktif memiliki kaitan dengan makna semantik. Implikatur percakapan, pra-anggapan, dan sejumlah konsep lain memuat kegiatan inferensi. Inferensi dapat diperoleh dari kaidah deduktif logika dan dari makna semantik item leksikal. Inferensi menggunakan penalaran deduksi dalam kegiatan penalaran dan interpretasi ujaran.
Inferensi elaboratif sangat terkait dengan pengetahuan ekstralinguistik penutur bahasa. Inferensi ini menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan informasi kognisi. Pada tahun 1991, pakar inteligensi artifisial Johnson-Laird dan Byrne (dalam Cummings, 1999) merumuskan tahap deduksi dalam teori model-model mental adalah (a) premis dan pengetahuan umum, (b) pemahaman, (c) model, (d) deskripsi, (e) simpulan terduga, (f) validasi, dan (g) simpulan valid.
Inferensi elaboratif memiliki peran dalam interpretasi ujaran. Cummings (1999) menggambarkan adanya integrasi interpretasi ujaran dari tiga subkomponen yang berpa abstrak (pengetahuan dunia), abstrak (pengetahuan komunikatif), dan fungsional (interferensi elaboratif). Namun oleh ahli pragmatik, kajian terhadap kelompok-kelompok inferensi ini bisa saja diabaikan karena para pakar inferensi elaboratif sebagian besar dari kalangan psikologi. Pakar pragmatik mengabaikan inferensi elaboratif tersebut dengan alasan disipliner ilmu.
Jika ditinjau kembali cakupan bahasan pragmatik dari beberapa ahli, akan diperoleh gambaran yang lebih dalam lagi.. Hal ini penting untuk memperdalam wawasan untuk menanggapi polemik disipliner inferensi dalam kajian interpretasi pragmatik atau inferensi elaboratif antarpakar psikologi dan pragmatik. Akhirnya muncul perlawanan inferensial elaboratif dengan interpretasi pragmatik.
Berdasarkan pendapat Nadar (2008) terkait topik bahasan pragmatik menyebutkan bahwa Searle, Kiefer, dan Bierwich (1980) menyatakan pragmatik berkaitan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks. Levinson (1983) berpendapat bahwa kajian pragmatik merupakan kajian hubungan bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodefikasi dalam struktur bahasa’. Sementara itu, Parker (1986) menyatakan bahwa pragmatik mengkaji tentang
bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Senada dengan Paker, Mey (1993) menyatakan bahwa kajian pragmatik tentang kondisi pengunaaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Terkait konteks, Wijana (1996) menyetujui pendapat ini dengan mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Cruse (dalam Cumming, 1999) menyatakan pragmatik berkaitan dengan informasi, kode, konvensi, konteks, dan penggunaan.
Inferensi merupakan intisari informasi baru yang bersifat implisit dan eksplisit dari informasi yang diberikan (Cummings, 1999). Proses inferensi terjadi ketika dalam proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan ciri konteks pada dasarnya merupakan proses inferensi. Konteks implikatur diperoleh bukan diberikan tetapi diciptakan. Hal ini merupakan pernyataan utama teori relevansi. Cruse (2000) berkomentar bahwaa konteks yang benar untuk menginterpretasikan ujaran tidak diberikan sebelumnya, melainkan pendengar memilih konteks dengan sendirinya.
Inferensi terdiri dari tiga hal, yaitu inferensi deduktif, inferensi elaboratif, dan inferensi percakapan (Cummings, 1999). Lebih detail dijelaskan bahwa inferensi deduktif memiliki tiga tipe silogisme, yaitu ‘all’ dan ‘some’ baik afirmatif, maupun negatif. Inferensi deduktif memiliki kaitan dengan makna semantik. Implikatur percakapan, pra-anggapan, dan sejumlah konsep lain memuat kegiatan inferensi. Inferensi dapat diperoleh dari kaidah deduktif logika dan dari makna semantik item leksikal. Inferensi menggunakan penalaran deduksi dalam kegiatan penalaran dan interpretasi ujaran.
Inferensi elaboratif sangat terkait dengan pengetahuan ekstralinguistik penutur bahasa. Inferensi ini menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan informasi kognisi. Pada tahun 1991, pakar inteligensi artifisial Johnson-Laird dan Byrne (dalam Cummings, 1999) merumuskan tahap deduksi dalam teori model-model mental adalah (a) premis dan pengetahuan umum, (b) pemahaman, (c) model, (d) deskripsi, (e) simpulan terduga, (f) validasi, dan (g) simpulan valid.
Inferensi elaboratif memiliki peran dalam interpretasi ujaran. Cummings (1999) menggambarkan adanya integrasi interpretasi ujaran dari tiga subkomponen yang berpa abstrak (pengetahuan dunia), abstrak (pengetahuan komunikatif), dan fungsional (interferensi elaboratif). Namun oleh ahli pragmatik, kajian terhadap kelompok-kelompok inferensi ini bisa saja diabaikan karena para pakar inferensi elaboratif sebagian besar dari kalangan psikologi. Pakar pragmatik mengabaikan inferensi elaboratif tersebut dengan alasan disipliner ilmu.
Jika ditinjau kembali cakupan bahasan pragmatik dari beberapa ahli, akan diperoleh gambaran yang lebih dalam lagi.. Hal ini penting untuk memperdalam wawasan untuk menanggapi polemik disipliner inferensi dalam kajian interpretasi pragmatik atau inferensi elaboratif antarpakar psikologi dan pragmatik. Akhirnya muncul perlawanan inferensial elaboratif dengan interpretasi pragmatik.
Berdasarkan pendapat Nadar (2008) terkait topik bahasan pragmatik menyebutkan bahwa Searle, Kiefer, dan Bierwich (1980) menyatakan pragmatik berkaitan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks. Levinson (1983) berpendapat bahwa kajian pragmatik merupakan kajian hubungan bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodefikasi dalam struktur bahasa’. Sementara itu, Parker (1986) menyatakan bahwa pragmatik mengkaji tentang
bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Senada dengan Paker, Mey (1993) menyatakan bahwa kajian pragmatik tentang kondisi pengunaaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Terkait konteks, Wijana (1996) menyetujui pendapat ini dengan mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Cruse (dalam Cumming, 1999) menyatakan pragmatik berkaitan dengan informasi, kode, konvensi, konteks, dan penggunaan.
1.4
Evidensi
Evidensi
adalah semua fakta yang ada, yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan adanya
sesuatu. Evidensi merupakan hasil pengukuan dan pengamatan fisik yang digunakan
untuk memahami suatu fenomena. Evidensi sering juga disebut bukti empiris. Akan
tetapi pengertian evidensi ini sulit untuk ditentukan secara pasti, meskipun
petunjuk kepadanya tidak dapat dihindarkan.
Kita mungkin mengartikannya sebagai “cara bagaimana kenyataan hadir” atau perwujudan dari ada bagi akal”. Misal Mr.A mengatakan “Dengan pasti ada 301.614 ikan di bengawan solo”, apa komentar kita ? Tentu saja kita tidak hanya mengangguk dan mengatakan “fakta yang menarik”. Kita akan mengernyitkan dahi terhadap keberanian orang itu untuk berkata demikian.
Tentu saja reaksi kita tidak dapat dilukiskan sebagai “kepastian”, Tentu saja kemungkinan untuk benar tidak dapat di kesampingkan, bahwa dugaan ngawur atau ngasal telah menyatakan jumlah yang persis. Tetapi tidak terlalu sulit bagi kita untuk menangguhkan persetujuan kita mengapa ? Karena evidensi memadai untuk menjamin persetujuan jelaslah tidak ada. Kenyataannya tidak ada dalam persetujuan terhadap pernyataan tersebut.
Sebaliknya, kalau seorang mengatakan mengenai ruang di mana saya duduk, “Ada tiga jendela di dalam ruang ini,” persetujuan atau ketidak setujuan saya segera jelas. Dalam hal ini evidensi yang menjamin persetujuan saya dengan mudah didapatkan.
Dalam wujud yang paling rendah. Evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang di maksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang di peroleh dari suatu sumber tertentu
1.5 Cara menguji data
Data dan informasi yang di gunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap di gunakan sebagai evidensi.
Di bawah ini beberapa cara yang dapat di gunakan untuk pengujian tersebut.
1.Observasi
2.Kesaksian
3.Autoritas
1.6 Cara menguji fakta
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut baru merupakan penilitian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil. Apakah itu dalam bentuk Konsistensi atau Koherensi.
Kita mungkin mengartikannya sebagai “cara bagaimana kenyataan hadir” atau perwujudan dari ada bagi akal”. Misal Mr.A mengatakan “Dengan pasti ada 301.614 ikan di bengawan solo”, apa komentar kita ? Tentu saja kita tidak hanya mengangguk dan mengatakan “fakta yang menarik”. Kita akan mengernyitkan dahi terhadap keberanian orang itu untuk berkata demikian.
Tentu saja reaksi kita tidak dapat dilukiskan sebagai “kepastian”, Tentu saja kemungkinan untuk benar tidak dapat di kesampingkan, bahwa dugaan ngawur atau ngasal telah menyatakan jumlah yang persis. Tetapi tidak terlalu sulit bagi kita untuk menangguhkan persetujuan kita mengapa ? Karena evidensi memadai untuk menjamin persetujuan jelaslah tidak ada. Kenyataannya tidak ada dalam persetujuan terhadap pernyataan tersebut.
Sebaliknya, kalau seorang mengatakan mengenai ruang di mana saya duduk, “Ada tiga jendela di dalam ruang ini,” persetujuan atau ketidak setujuan saya segera jelas. Dalam hal ini evidensi yang menjamin persetujuan saya dengan mudah didapatkan.
Dalam wujud yang paling rendah. Evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang di maksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang di peroleh dari suatu sumber tertentu
1.5 Cara menguji data
Data dan informasi yang di gunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap di gunakan sebagai evidensi.
Di bawah ini beberapa cara yang dapat di gunakan untuk pengujian tersebut.
1.Observasi
2.Kesaksian
3.Autoritas
1.6 Cara menguji fakta
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut baru merupakan penilitian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil. Apakah itu dalam bentuk Konsistensi atau Koherensi.
1.7 Cara menilai autoritas
Seorang
penulis yang objektif selalu menghidari semua desas-desus atau kesaksian dari
tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan
pendapat saja atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian
atau data eksperimental.
1. Tidak
mengandung prasangka
2.
Pengalaman dan pendidikan autoritas
3.
Kemashuran dan prestise
4. Koherensi
dengan kemajuan
2.1 Silogisme Kategorial
Silogisme
kategoris adalah silogisme yang premis-premis dan kesimpulannya berupa
keputusan kategoris. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis
yang kemudian dapat sibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi
predikat), dan premis minor (premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan
di antara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
2.2 Silogisme
Hipotesis
Silogisme
hipotesis adalah silogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih yang berupa
keputusan hipotesis.
Contohnya:
Pada malam
hari tidak ada matahari, jadi tidak mungkin terjadi proses fotosintesis.
Bentuk
silogismenya adalah sebagai berikut :
Proses
fotosintesis memerlukan sinar matahari (premis mayor)
Pada malam
hari tidak ada matahari (premis minor)
Kesimpulan:
Jadi, pada malam hari tidak mungkin ada fotosintesis.
2.3 Silogisme Alternatif
Silogisme
alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi
alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah
satu alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh:
Nenek Sumi
berada di Bandung.
∴ Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
3.1 Generalisasi
Generalisasi
adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju
kesimpulan umum.Contoh:
Andika
Pratama adalah bintang film, dan ia berwajah tamapan.
Raffi Ahmad
adalah bintang film, dan ia berwajah tampan.
Generalisasi:
Semua bintang film berwajah tampan. Pernyataan “semua bintang film berwajah
tampan” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum pernah diselidiki
kebenarannya.
Macam-macam
generalisasi :
1.
Generalisasi sempurna: Generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar
penyimpulan diselidiki.
Contoh:
sensus penduduk
2.
Generalisasi tidak sempurna: Generalisasi dimana kesimpulan diambil dari
sebagian fenomenayang diselidiki diterapkan juga untuk semua fenomena yang
belum diselidiki.
Contoh:
Hampir seluruh pria dewasa di Indonesia senang memakai celana pantaloon.
Prosedur
pengujian generalisasi tidak sempurna. Generalisasi yang tidak sempurna juga
dapat menghasilkan kebenaran apabila melalui prosedur pengujian yang benar.
3.2 Hipotesis dan teori
Hipotese (hypo“di bawah”, tithenai“menempatkan“)
adalah semacam teori atau kesimpulan yang diterima sementara waktu untuk
menerangkan fakta-fakta tertentu sebagai penentu dalam peneliti fakta-fakta
tertentu sebagai penuntun dalam meneliti fakta-fakta lain secara lebih lanjut.
Sebaliknya teori sebenarnya merupakan hipotese yang secara relatif lebih kuat
sifatnya bila dibandingkan dengan hipotese.
3.3 Analogi
Analogi
dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya
bentuk-bentuk yang lain. Analogi merupakan salah satu proses morfologi dimana
dalam analogi, pembentukan kata baru dari kata yang telah ada.
Analogi
dilakukan karena antara sesuatu yang diabandingkan dengan pembandingnya
memiliki kesamaan fungsi atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat
menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkrit dan lebih mudah
dicerna. Analogi yang dimaksud adalah anlogi induktif atau analogi logis.
Contoh :
Untuk
menjadi seorang pemain bola yang professional atau berprestasi dibutuhkan
latihan yang rajin dan ulet. Begitu juga dengan seorang doktor untuk dapat
menjadi doktor yang professional dibutuhkan pembelajaran atau penelitian yang
rajin yang rajin dan ulet. Oleh karena itu untuk menjadi seorang pemain bola
maupun seorang doktor diperlukan latihan atau pembelajaran.
Jenis-jenis
Analogi:
1. Analogi
induktif :
Analogi
induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua
fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama
terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang
sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima
berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang
diperbandingkan.
Contoh:
Tim Uber
Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka tim Thomas
Indonesia akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
2. Analogi
deklaratif :
Analogi
deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang
belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini
sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima
apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
Contoh:
deklaratif
untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala
negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan
yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
3.4 Hubungan Kausal
Penalaran
yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan. Hubungan kausal
(kausalitas) merupakan perinsip sebab-akibat yang sudah pasti antara segala
kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta
kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang
mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan
sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu
manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.
Macam
hubungan kausal :
1. Sebab-
akibat.
Contoh:
Penebangan liar dihutan mengakibatkan tanah longsor.
2. Akibat –
Sebab.
Contoh:
Andri juara kelas disebabkan dia rajin belajar dengan baik.
3. Akibat –
Akibat.
Contoh:Toni
melihat kecelakaan dijalanraya, sehingga Toni beranggapan adanya korban
kecelakaan.
3.5 Induksi Dalam Metode Eksposisi
Februari 2013 banjir melanda ibukota
Jakarta. Curah hujan yang tinggi menyebabkan air melimpah ruah mengalir dari
wilayah Bogor ke Jakarta. Penumpukan atau sedimentasi lumpur yang mencapai
ketebalan 3 meter membuat sungai-sungai di Jakarta sangat dangkal, belum lagi
pemukiman kumuh padat penduduk yang berada di pinggiran sungai membuat lebar
sungai menjadi sempit serta tumpukan sampah yang menggunung membuat aliran
sungai tersendat. Faktor-faktor tersebut yang membuat Jakarta dilanda banjir
pada tahun ini. Oleh karena itu Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur barunya
Joko Widodo harus bertindak cepat dengan cara memperbaiki tata kota Jakarta dan
menerapkan disiplin kepada warganya agar membuang sampah pada tempatnya.
Sumber
:
Widjono Hs.
Bahasa Indonesia. Grasindo : Jakarta. 2012.
2009. Zaenal
Arifin dan S. Amran Tasal. Cermat Berbahasa Indonesia. Akkademia Pressindo :
Jakarta. 2009.
Minto
Rahayu. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Ebook
Rahardi, R.
Kunjana. 2005. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar